Namaku Wina lengkapnya Sri Winarsih, kini usiaku sudah mencapai 28 tahun. Aku dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahku seorang pegawai negeri dengan penghasilan yang sangat rendah, sedangkan ibu seorang ibu rumah tangga yang hanya dapat membantu meringankan suaminya dengan berjualan jajanan keliling kampung. Seingatku, aku tidak pernah mendengar ayah ibuku mengeluhkan tentang hal itu.
Aku
dilahirkan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Aku tidak sempurna seperti
bayi-bayi lainnya, tubuhku kecil karena aku lahir prematur. Mungkin karena ibu
terlalu giat bekerja agar dapat membantu ayahku dalam mencari nafkah. Oleh
karena orang tua tidak mempunyai banyak biaya untuk perawatanku di rumah sakit,
maka orang tuaku membawaku pulang ke rumah untuk dirawat dengan peralatan
seadanya. Berkat dukungan ayahku, ibuku merawatku sebaiknya mungkin dengan
sangat berhati-hati. Sehubungan aku lahir belum cukup umur maka tubuhku
membutuhkan kehangatan yang lebih, kata ibuku dulu untuk dapat menghangat
tubuhku maka digunakan lampu belajar bekas pemberian tetangga. Orang tuaku
berharap aku dapat tumbuh dengan sempurna seperti layaknya anak-anak pada
umumnya.
Alhamdulillah
dengan dukungan ayahku dan berkat pertolongan Allah maka aku dapat tumbuh
dengan cepat dan sehat. Namun di tengah perjalanan hidupku terjadi suatu
kecelakaan yang dampaknya terasa hingga tamat SMA. Saat berusia 5 bulan aku
jatuh dari tempat tidur ibuku. Saat itu ibuku sedang membuat kue untuk dijual
hari itu. Ibu terkejut mendengar tangisanku yang secara tiba-tiba itu. Aku
sudah tergeletak di atas lantai. Setelah diperiksa, alhamdulillah tidak ada
cedera di tubuhku. Ibu tidak membawaku ke rumah sakit hanya diperiksa sendiri
saja, karena saat itu ibu tidak punya uang. Dengan cekatan ibu menggendongku
dengan penuh kasih sayang, dengan kehangatannya yang hingga saat ini masih
terasa dan selalu kurindukan.
Sejak
kecil aku mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan, tubuhku kaku, tidak
lincah seperti teman-temanku. Semakin besar gerakanku semakin kaku, sampai
akhirnya aku di bawa ke rumah sakit yang berada jauh dari desa kami tinggal.
Sebetulnya orang tuaku tidak mempunyai uang untuk itu, tetapi dengan berbagai
usaha yang halal akhirnya ayahku mampu mengumpulkan sedikit uang untuk berobat
ke kota.
Sesampainya
di rumah sakit aku ditangani oleh seorang dokter yang cantik dan baik hati,
lemah lembut tutur katanya, namanya dokter Mila.
Dari
pemeriksaannya ternyata aku mengalami kelainan pada tulang kaki dan tanganku,
sehingga aku harus menjalani beberapa terapi untuk menormalkan kembali fungsi
tulang-tulangku agar bisa berjalan dengan baik. Salah satu penyebabnya
kemungkinan pada saat aku terjatuh pada usia 5 bulan itu. Baru beberapa hari
aku tinggal di rumah sakit persediaan uang ayahku menipis, akhirnya dengan
sangat terpaksa ayah ibu membawaku kembali ke kampung. Orang tuaku pasrah atas
ujian yang Allah berikan. Apapun yang akan terjadi semua adalah kehendak-Nya.
Usaha orang tuaku patut kuacungi dua jempol, bahkan bila memungkinkan empat
jempol sekaligus.
Dengan
telaten setiap hari ibuku melakukan terapi sendiri di rumah, sementara ayahku
membuatkan aku tempat untuk belajar berjalan dari bambu. Sebelum ayahku pergi
bekerja aku selalu diajak untuk melakukan latihan secara rutin dengan penuh
kasih sayang. Aku melihat tidak ada sedikitpun guratan kesedihan di wajah
mereka, senyum bahagia selalu menyelimuti bibirnya saat memberi semangat padaku
untuk melakukan latihan tersebut. Apalagi kalau sudah melihat aku bosan, ibu
selalu membujuknya dengan janji akan membuatkan aku makanan kesukaanku. Ayah
pun demikian tidak pernah luput memujiku dengan perkembangan kemampuanku untuk
berjalan.
Tanpa
terasa aku sudah duduk di bangku SMA, aku masih selalu diantar jemput oleh
ibuku karena aku memang belum dapat berjalan dengan sempurna. Jalanku masih
pelan-pelan takut jatuh, ibu selalu menggandeng tanganku dan memapah aku
berjalan. Kegigihan beliau dalam membimbing, benar-benar memacu hatiku untuk
bertekad mewujudkan cita-citaku menjadi seorang dokter ahli tulang yang cantik
dan sukses seperti Dokter Mila.
Hari
demi hari kulalui dengan dukungan dan kehangatan orang tuaku, terutama ibu.
Sampailah pada tahun ke 3 di SMA, prestasi belajarku melesat cepat, nilai
pelajaranku sangat baik.
Pertolongan
Allah pun tiba. Aku mendapatkan bantuan dari Pak Haji Sholehudin, seorang yang
dermawan di kampungku, sehingga orang tuaku tidak begitu dipusingkan dengan
biaya sekolahku di SMA. Walaupun demikian ayah dan ibuku tidak berhenti atau
bermalas-malasan mencari nafkah, karena pada prinsipnya tidak mau merepotkan
orang lain.
Pak
Haji Sholeh adalah pedagang di pasar di kota, istri tercintanya telah meninggal
dunia 15 tahun yang lalu. Meski usahanya sangat maju namun kehidupannya sangat
sederhana. Beliau hidup bersama 5 orang anak yatim piatu di rumahnya yang
sangat sederhana. Kepeduliannya kepada orang yang tidak mampu jauh lebih peduli
dibandingkan dengan orang kaya yang ada di kampungku. Menurut cerita dari
ibuku, sejak masih muda beliau gemar sekali bersedekah, begitu pula dengan
almarhum istrinya. Baginya harta dia sesungguhnya adalah harta yang dia berikan
untuk orang lain. Subhanallah!!
...Allah mendengar doa dan harapan
orangtuaku dalam shalat Tahajud di keheningan malam yang sepi. Tak
henti-hentinya ibu berdoa untuk kebahagiaan dan keberhasilanku...
Dengan
segala keterbatasan dan dukungan dari orangtua, aku mampu menyelesaikan
pendidikan di SMA dengan prestasi dan nilai yang gemilang. Acara wisuda di
sekolah sangat meriah. Kami saling berpelukan, menangis karena haru bahagia.
Kami sadar kami akan berpisah dengan teman-teman dan entah apakah kami akan
bertemu kembali atau tidak. Kelak kami akan menjadi apa? Kami tidak tahu, semua
itu adalah rahasia Ilahi.
Allah
mendengar dan mengabulkan semua doa dan harapan orang tuaku, yang selalu
kudengar saat ibuku selesai menunaikan shalat Tahajud di keheningan malam yang
sepi. Bersamaan dengan mengalirnya airmata dari bola matanya yang indah
kemudian sebait doa pun meluncur dari bibirnya. Tak henti-hentinya ibu selalu
mendoakan aku, demi kebahagiaanku, keberhasilanku. Kadang aku berpikir kapankah
ibu tidur? Setiap aku terbangun ibu sedang berzikir, berdoa, mengaji, shalat
dan banyak lagi serangkaian ibadah yang dilakukannya.
Selepas
SMA aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri yang paling terkemuka di Indonesia,
dengan jurusan yang diminati banyak pelajar SMA yaitu Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (UI).
Terima
kasih Ya Allah, Kau mengabulkan cita-citaku menjadi mahasiswa kedokteran
apalagi di Universitas Indonesia. Subhanallah tiada henti-hentinya aku
bersyukur.
Mendapat
kenikmatan besar dan musibah
memilukan
Qadarullah, mungkin karena kelewat bahagianya mendengar aku diterima
di Fakultas Kedokteran UI, ayahku kena serangan jantung kemudian meninggal
dunia. Sejak itu ibuku hijrah ke Jakarta, menemaniku karena aku saat itu belum
sempurna betul. Setelah mengantarkan aku ke kampus, ibu pergi bekerja sebagai
pembantu rumah tangga di rumah seorang dokter yang kebetulan menjadi dosenku,
namanya dr. Sudiyanto SpBO (dokter Spesialis Bedah Orthopedi). Dosen yang baik
hati ini memiliki 2 anak yang secara kebetulan anak sulungnya adalah
kakak kelasku, 3 tahun diatasku.
Dr
Sudiyanto pun merasa prihatin dengan kondisiku, sehingga dengan tulus
membantuku pengobatanku dengan terapi medis secara gratis. Alhamdulillah dalam
jangka waktu 1,5 tahun aku sudah dapat berjalan dan tanganku dapat digerakkan
dengan lentur seperti teman-temanku yang lainnya.
Sepeninggal
ayah, aku mendapatkan beasiswa karena aku termasuk anak yatim yang berprestasi,
dan dari keluarga yang miskin.
Hari
demi hari kulalui bersama ibuku, dengan kesetiaannya ibuku selalu menemani aku
dalam belajar, selalu memberi semangat, menjadi inspirasiku dalam menyelesaikan
studiku. Dalam jangka waktu 5 tahun aku lulus sebagai dokter umum, kemudian
dilanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sebagai dokter spesialis
bedah orthopedic, sesuai cita-citaku dulu. Pendidikan ini pun dapat
kuselesaikan dalam jangka waktu 3 tahun. Allahu akbar!
...Ibu telah mengantarkan aku menjadi seorang dokter dengan
kelembutan, kesabaran, ketekunan, dan doa tulus yang dikabulkan Allah...
Tibalah
saatnya aku menjalani wisuda sebagai Dokter Spesialis Bedah Ortopedi. Dalam
hatiku dan selalu dipenuhi rasa syukur kepada Allah. Malam hari sebelum wisuda
aku tidak bisa tidur, kupandangi wajah ibuku yang sudah tampak tua kelelahan,
aku hanya bisa berucap lembut: “Ibuuuuu, terima kasih karena kau telah
mengantarkan aku menjadi seorang dokter dengan kelembutan, kehangatan, kesabaran,
ketekunan, yang pasti doamu sangat tulus untukku, Allah telah mengabulkan
doamu. Aku persembahkan gelar dan ijazahku untukmu, engkaulah yang patut
mendapatkan gelar itu. Ibuuuu aku sangat mencintaimu…”
Tanpa
terasa matahari pun muncul dari persembunyiannya, aku dan ibuku sibuk
mempersiapkan diri untuk menghadiri upacara wisuda. Kami berangkat dengan
menggunakan becak, namun tiba-tiba kami dikejutkan dengan kedatangan Dr Ade
Sutisna, putra sulung Dr Sudiyanto.
Saat
itu kami hendak menaiki becak yang sudah kami pesan, dengan sedikit memaksa
beliau mengajak kami untuk ikut masuk ke dalam kendaraannya. Sebagai
penghargaan padanya akhirnya kami mengikutinya. Sesampainya di kampus UI
ternyata aku sudah ditunggu oleh Dr Sudiyanto dan istrinya.
...Subhanallah di zaman modern ini
masih tersisa manusia ningrat yang mau menjadikan orang miskin menjadi menantu
tanpa pertentangan...
Sepulang
acara wisuda, malam harinya keluarga Dr Ade Sutisna berkunjung ke rumah
kontrakan kami yang sangat kecil. Di luar dugaan, kunjungan mereka bertujuan
melamarku untuk dijodohkan dengan Dr Ade. Subhanallah, kami hanya mampu
menangis haru dan rasa syukur. Ternyata di zaman modern ini masih tersisa
manusia ningrat yang mau menjadikan orang miskin ini menjadi menantunya tanpa
proses pertentangan. Rupanya sejak aku masuk kuliah Dr. Sudiyanto sudah berniat
menjodohkan aku dengan putranya. Tanpa sepengetahuan beliau dr Ade menaruh hati
padaku.
Dua
tahun kemudian kami menikah dan merajut keluarga sakinah hingga sekarang. Dalam
kebahagiaanku, kebaikan almarhum ayahku tak pernah terlupakan. Hanya doa yang
kupanjatkan kepada Allah, satu-satunya balas jasaku pada ayahku. Semoga doaku
menjadi amal ayah yang tiada terputus.
Duhai
ayah, seandainya saat ini Allah mengizinkanmu masih hidup, betapa bahagianya
dirimu, ikut merasakan kebahagiaanku. Untuk menambah kepercayaan para pembaca bisa membuka info berikut silahkan Klik INFO PENTING.
[voa-islam.com]
[voa-islam.com]
Related Posts :
Terima kasih telah berkunjung di blog Kang Guru. Silahkan tinggalkan komentar anda di kotak komentar dan klik suka atau share artikel ini di Facebook, Twitter, maupun Google+1.
3 comments:
beneran artikelnya sangat berkualitas, sangat nyaman untuk disimak :))
semoga kita bs mengambil ibroh dari semua yg kita dapatkan..
semoga kelak aku bisa membangun keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah , amin :)
Posting Komentar