Di Indonesia untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan (1 Syawal) ada dua metode yang bisa digunakan, yaitu RU`YATUL HILAL (melihat hilal, bulan tsabit yang muncul pada awal bulan sebagai pertanda awal masuknya bulan hijriah) dan metode HISAB (penetapan berdasarkan perhitungan ilmu astronomi).
Sudah menjadi rutinitas setiap tahunnya, pemerintah melalui departemen agama melakukan rukyatul hilal untuk menentukan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal. Pemerintah menempatkan petugasnya di 90 titik untuk mengamati hilal, pertanda datangnya bulan baru. Mulai dari Sabang hingga Merauke, ratusan orang terlibat dalam kegiatan ini. Tidak hanya dari unsur pemerintah, dari kalangan ulama dan masyarakat pun berpartisipasi dengan satu tujuan yaitu melihat hilal (rukyatul hilal).
Di sisi lain, pemerintah juga
menetapkan “standar pengamatan” yang dikenal dengan Metode Imkanur Rukyat 2
derajat, dimana penampakan hilal akan diakui jika secara hisab berada diatas 2
derajat.
Imkanur Rukyat ini merupakan kombinasi antara rukyatul hilal (pengamatan bulan tsabit) dengan hisab (ilmu astronomi).
Imkanur Rukyat ini merupakan kombinasi antara rukyatul hilal (pengamatan bulan tsabit) dengan hisab (ilmu astronomi).
Tidak jarang umat menjadi bingung
yang mana yang harus diikuti RU`HIYATUL HILAL atau HISAB?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut mari kita lihat bagaimana Nabi Muhammad SAW, Para sahabat, mas tabi`in,
dan masa tabi`ut tabi`in menentukan awal bulan hijriyah.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh". (Bukhori 1776).
Dari hadits di
atas jelas Nabi Muhammad SAW & para sahabat menentukan awal bulan Ramadhan
dengan metode RU`HIYATUL HILAL (melihat hilal, bulan tsabit yang muncul pada
awal bulan sebagai pertanda awal masuknya bulan hijriah).
Hingga pada
suatu hari ada seorang sahabat bertanya kepada beliau tentang berapa jumlah
hari untuk tiap bulan hijriyah. Kemudian beliau bersabda,”Sesungguhnya kami
adalah umat Ummi (Tidak bisa baca tulis)”. Namun saat itu Nabi juga
membuka kedua tangannya (10 jari terbuka semua) sebanyak 3 kali, kemudian
kembali membuka tangannya dengan 10 jari terbuka 2 kali terus diikuti membuka
kedua tangannya dengan satu jempol ditekuk.
Maka dari kasus
di atas menjadi dasar untuk bulan – bulan hijriyah adalah sebanyak 30 hari atau
29 hari, tidak ada yang 31 hari.
Berarti ada
kemungkinan jumlah bulan Sya`ban atau Ramadhan berjumlah 29 hari / 30 hari.
Karena ketika di tanggal ke-29 pada bulan Sya`ban atau Ramadhan Hilal belum
terlihat atau Langit ufuk barat tertutup awan atau mendung, Nabi menyuruh para
sahabat untuk menggenapkan hari menjadi 30 hari sebagaimana hadits di atas.
2. Masa Khulafaur Rosidin (4 sahabat-Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali)
Jika ketika saat
Nabi Muhammad SAW masih hidup dengan
jelas menentukan awal bulan hijriyah dengan melihat Hilal. Demikian pula pada
masa Khulafaur Rosidin, mereka juga menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal
dengan cara Ru`hiyatul Hilal (Melihat bulan sabit pertama di ufuk barat). Pada
masa ini belum dikenal yang namanya ilmu Hisab / Ilmu astronomi / Ilmu Falak.
Namun pada masa ini sudah banyak para sahabat yang sudah pandai berhitung dan
membaca.
3. Masa Dinasti Bani Umayyah (Tabi`in / Murid Para sahabat Nabi)
Mari kita lihat
di Masa Bani Umayyah ini, di samping sebagian besar saat itu sudah pandai
membaca, & menulis, adapula sebagian dari mereka yang sudah kenal, paham, atau
mengerti tentang ilmu astronomi dan perbintangan. Walaupun sudah ada sebagian
dari mereka sudah kenal dan paham tentang ilmu astronomi ternyata pada masa
Bani Umayyah ini menentukan awal bulan ramadhan dan awal syawal dengan
Ru`hiyatul Hilal. Maka di masa Dinasti Bani Ummayyah (Tabi`in) tetap memakai
cara yang pernah digunakan pada masa Nabi Muhammad SAW & masa Khulafaur
Rosidin, mereka tidak memakai Hisab dalam menentukan awal bulan Ramadhan.
4. Masa Dinasti Abasiyah
(Tabi`it Tabi`in)
Pada masa ini adalah
masa puncak kejayaan Islam dan masa keemasan ilmu pengetahuan dalam Islam atau
lebih dikenal dengan sebutan The Golden Age atau Al`ashrudzdzahaniyun.
Dimana pada masa ini hampir semua ilmu sudah ada, dari masalah kedokteran,
filsafat, perbintangan, anatomi, botani, dst. Bahkan pada masa ini banyak
ulama` disamping dia paham tentang ilmu Dienul Islam mereka juga paham Ilmu
Hisab atau Ilmu perbintangan atau Ilmu astronomi. Tidak hanya puluhan tetapi
sampai ratusan. Dalam sejarah pada masa ini orang – orang Eropa & Amerika
masih pada hidup di hutan – hutan.
Namun sekali
lagi pada masa Dinasti Abasiyah ini para ulama` tetap memakai system Ru`hiyatul
Hilal dalam menentukan awal ramadhan ataupun awal syawal. Padahal saat itu
banyak ulama` disamping faqih dalam hal ilmu agama mereka juga paham ilmu
astronomi, akan tetapi mereka tetap memegang Sunnah Nabi. Mereka tidak
mengalahkan tuntunan Sunnah dengan perkembangan Ilmu logika atau teknologi.
Terus kapan
model Hisab dalam islam itu dimulai? Yaitu di masa – masa akhir Dinasti
Abasiyah (Tabi`it Tabi`in) ada SATU ulama` yang dia disamping paham tentang
ilmu Dienul Islam dia juga mengerti akan ilmu astronomi. Hingga suatu hari
dating akhir bulan Sya`ban (Tanggal 29 Sya`ban) kalangan umat Islam saat itu
bertanya kepada beliau kapan jatuhnya bulan Ramadhan.
Maka ulama` tadi
kemudian menyarankan untuk sore itu (tgl 29 Sya`ban) untuk melihat Hilal di
ufuk barat. Kebetulan saat itu langit berawan / mendung. Karena berdasarkan
dalil Nabi bahwa jika tertutup mendung maka Nabi menyuruh menyempurnakan /
menggenapkan menjadi 30 hari, maka ulama` tersebut kemudian menyuruh umat islam
agar kembali kerumah masing – masing dan mengatakan bahwa besok belum berpuasa.
Akan tetapi
sesampainya di rumah Ulama` ini ragu – ragu, karena menurut perhitungan ilmu
perbintangan / astronomi dia harusnya sore itu Hilal sudah terlihat. Karena
tertutup awan sehingga tidak nampak. Maka hatinya bergejolak dengan dua pilihan
antara menggenapkan bulan Sya`ban saat itu menjadi 30 hari berdasarkan sabda
Nabi atau menetapkan bahwa keesokan harinya sudah puasa karena menurut
perhitungan astronomi bahwa seharusnya sore itu sudah 1 Ramadhan.
Akhirnya ulama`
tadi secara diam – diam di keesokan harinya dia menunaikan puasa sendirian
tanpa diberitahukan kepada khalayak ramai. Maka saat itulah awal mulanya di
kenal penentuan awal Ramadhan dengan HISAB.
Dari kisah
ulama` tabi`it tabi`in tadi dapat disimpulkan bahwa pemakaian HISAB hanya sebagai
ALTERNATIF TERAKHIR ketika RU`HIYATUL HILAL sudah ditunaikan. Atau bias dikatakan
Alternatif BUKAN MENJADI SATU PILIHAN DARI DUA PILIHAN.
Ini saja
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah BAHWA ORANG TADI (ulama` tadi) yang tidak
menjadikan alternative penentu pilihan pertama, beliau mengatakan bahwa orang
tadi “Syaadz : Nyeneh” atau “Mubtadi` : Orang yang menentukan hal
baru (bid`ah) dalam ibadah”. LALU SEBUTAN BURUK APA YANG LEBIH PANTAS BAGI
ORANG / ORGANISASI YANG MENJADIKAN HISAB SEBAGAI PILIHAN PERTAMA PADAHAL
RU`HIYATUL HILAL BELUM DITUNAIKAN?
Sumber :
Ringkasan Kajian
Rutin Bersama Ust. Abdullah Manaf Amin di Masjid Al-Hidayah Perum Klodran
Indah, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Related Posts :
Terima kasih telah berkunjung di blog Kang Guru. Silahkan tinggalkan komentar anda di kotak komentar dan klik suka atau share artikel ini di Facebook, Twitter, maupun Google+1.
0 comments:
Posting Komentar